Notification

×

Iklan

Pasang Iklan

Iklan

Pasang Iklan

(Fiksi) - Gerimis Oktober

| Oktober 18, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2023-02-26T05:48:56Z
Pasang Iklan

La Ode Arwah Rahman

Tahun tahun terus berlalu dan setelah masa masa yang lewat, gerimis itu belum juga bisa menjauh. Layaknya musim yang tak berkesudahan, ia adalah luka sekaligus kenangan. Selalu saja ada ruang dan alasan untuk mengingatnya. 


Ditulis oleh: La Ode Arwah Rahman 


TAPI, perjalanan hidup telah mengajarkannya banyak hal. Tak ada yang lebih indah dari memaafkan. Memang sulit tapi bukan tak mungkin. Itulah yang dilakukannya pada setiap waktu. Tidak mudah memang. 


Boleh jadi kamu tak pernah tahu soal ini. Seberapa kuat ia telah berjuang. Bertahun tahun mengatasi penderitaannya. Sendiri. Dalam senyap.


Lagi pula tak ada manusia yang sempurna. Kata kata inilah yang menentramkan hatinya. Ia jadikan itu semacam mantra. 


Ia rapalkan setiap waktu. Ia benamkan kata kata itu di benaknya sedalam mungkin, dan itu telah membuatnya kuat dan bertahan. 


Hingga akhirnya di tahun tahun terakhir ia mulai dapat berdamai dengan tragedi itu. Meski jauh di ujung lubuk hatinya tetap saja ada ruang sunyi.


Semacam bilik sendu yg sewaktu waktu siap menjadi halaman terbuka. Tempat mendung menumpahkan gerimis dan mencipta gemuruh.


Seperti sore ini. Di tengah rinai hujan Oktober,  ia kembali menyusuri jalan yang dulu pernah membuatnya berpikir dunia tengah kiamat. Bukan untuk apa, rupanya ia masih saja dihantui berbagai pertanyaan tentang peristiwa masa lalu itu.


Mengingat tentangmu seperti ia berkelana di dua belantara tak berujung: rindu dan dendam. Rasa  itu menyiksa. Tidak gampang. Ia rupanya belum bisa sepenuhnya bisa menerima. 


Ia kembali mencarimu di remah-remah waktu dalam wujudmu yang dulu. Berharap dapat menjumpaimu di masa lalu dengan senyum mengembang.


Namun ia merasakan jalanan itu semakin sunyi di tengah tumbuh kembang kota  yang tak terbendung. Kali ini sengaja ia ingin membasah seperti juga hatinya yang  gerimis. 


Ia tak bisa mengabaikannya. "Andai",  "jika saja", "kalau".  Diksi diksi itu bergumul dalam benaknya. Rasa sedih dan sesal kembali menyergapnya.  Peristiwa itu benar benar telah membuat hatinya remuk dan beku.


Ini bukan kali pertama ia terjebak gerimis sore. Tapi entah, kali ini ia ingin menikmatinya. Di tengah rasa haru seperti ada rasa bahagia terbesit. 


"Sesekali menikmati  kesedihan adalah sehat, bahkan memeliharanya. Bisa memberikan inspirasi," gumannya membatin. 


Meski begitu ia juga tak bisa membohongi diri. Ia mulai lelah. Mungkin sudah waktunya berteduh. Ia tak ingin lagi terlalu lama larut dalam kesedihan. Toh, hidup harus terus berlanjut. Masih banyak hal indah untuk dinikmati. 


Diakuinya, banyak hal baik yg telah dilalui 10 tahun terakhir. Itu sudah lebih dari cukup untuk menikmati hidup yang singkat ini. Memberinya keluarga tempat ia bisa pulang adalah  hal terindah yang ia dapatkan.


Kini ia hanya berharap gerimis di dalam sana bisa berhenti. Hengkang dari hatinya selamanya. Tak masalah, di hari esok sesekali  bertandang kembali. Sebagai teman jalan, berkeliling kota dan menikmati pelangi.


Ia juga mulai belajar.  Tidak semua yang kita inginkan mesti berada di genggaman. Namun tetap saja harus ada prioritas. Hal hal berharga tidak boleh pergi, apalagi lenyap. Salah satunya keluarga.  


Ia  mulai dapat  berdamai dengan kenyataan. Hal hal tak penting serupa debu, ia biarkan lepas dari genggaman. Keluar dari sela sela  jari  kehidupannya. Ia tak ingin menghabiskan waktu berlama lama untuk sesuatu tak perlu. 


Yang ia butuhkan kini hanya ketenangan. Iya, ketenangan.  Sesederhana itu. Baginya selalu ada harapan untuk hari esok, di tengah  gerimis sekalipun. Termasuk gerimis  Oktober yang kini menyelimuti hatinya.


Makassar,  9 Oktober 2022

Pasang Iklan

Pasang Iklan

Pasang Iklan

Pasang Iklan
×
Berita Terbaru Update