Oleh: LELI IRWANAH
Mahasiswi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
BISNIS perusahaan asuransi semakin menggeliat. Data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) premi tumbuh 19% year on year (yoy) menjadi Rp 19,76 triliun pada Maret 2019. Namun terdapat persoalan fraud yang tengah menghantui bisnis asuransi.
Fraud terjadi ketika seseorang sengaja berbohong untuk mengambil keuntungan. Tindakan ini sengaja dilakukan oleh tertanggung atau pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan dari pihak asuransi yang bukan menjadi haknya
Fraud merupakan tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi perusahaan pemegang polis, tertanggung, peserta, atau pihak lain yang terjadi di lingkungan perusahaan, yang membuat pihak lain menderita kerugian.
Ada tiga faktor penyebab atau kondisi umum yang hadir pada saat kecurangan (fraud) terjadi, yang sering disebut sebagai fraud triangle, Ada tekanan atau pressure, peluang atau opportunity, serta pembenaran atau rasionalisasi.
Adapun modus yang dilakukan pelaku kecurangan untuk lini bisnis perjalanan adalah memperbesar biaya di rumah sakit. Ia bilang oknum ini bekerja sama dengan pihak rumah sakit maupun aparat setempat.
Selain itu, juga memperbesar biaya atas kehilangan barang dengan melampirkan struk produk asli namun barang yang hilang merupakan barang tiruan.
Sedangkan modus pada pada lini marine, tertanggung sengaja menenggelamkan kapal namun menyatakan kerusakan karena badai. Ada juga yang memanipulasi surat kelayakan berlayar dan usia kapal.
Pada lini kendaraan bermotor melakukan kecelakaan dengan sengaja dengan menggunakan komponen murah, namun dengan klaim dengan komponen yang mahal.
Meski mengalami fraud pada produk perjalanan, bisnis asuransi kecelakaan diri masih tumbuh.
Data AAUI mencatatkan hingga kuartal pertama 2019 terdapat pertumbuhan asuransi kecelakaan sebesar 13,9% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 456,19 miliar. Adapun posisi yang sama tahun lalu Rp 400,63 miliar.
Adapun klaim pada lini bisnis ini tumbuh 18,8% dari Rp 135,11 miliar menjadi Rp 160,55 miliar.
Lalu bagaimana cara mencegah adanya fraud asuransi?
Sejauh ini upaya pencegahan fraud dilakukan pada saat calon tertanggung mengajukan pembelian produk asuransi kesehatan. Pada prinsipnya, perusahaan asuransi kesehatan akan melakukan proses underwriting yaitu proses identifikasi dan seleksi risiko yang mengacu pada ketentuan underwriting di masing-masing perusahaan asuransi.
Proses underwriting bukan hanya mempengaruhi besar kecil premi tapi juga menentukan diterima atau tidaknya calon tertanggung. Sebab itu saat pendaftaran pembelian produk asuransi kesehatan, perusahaan asuransi melakukan penilaian terhadap kondisi kesehatan calon tertanggung.
Sebagai contoh, ada perusahaan asuransi yang masih mau menerima tertanggung dengan penyakit gula darah dengan tingkat keparahan tertentu, tapi ada juga yang tidak mau sama sekali. Seleksi risiko ini biasanya dilakukan melalui wawancara, meminta medical check up, memberikan kuesioner/formulir (seperti SPAJ), dan melakukan verifikasi data sebelum menyetujui SPAJ / menerima nasabah sebagai tertanggung.
Namun, ada kalanya proses tersebut tidak dijalankan sesuai dengan prosedur sehingga menimbulkan potensi fraud di kemudian hari. Misalnya, proses verifikasi tidak dilakukan dan di kemudian hari baru diketahui ternyata tertanggung memiliki riwayat penyakit yang sebenarnya dikecualikan dalam polis.
Berdasarkan pengalaman perusahaan asuransi, ada beberapa perilaku yang masuk dalam kategori red flags dan memerlukan investigasi antara lain:
Kondisi penyakit menahun yang muncul secara tiba-tiba hanya dalam beberapa bulan setelah polis aktif
Rawat inap yang tidak diperlukan secara medis karena sebenarnya bisa dilakukan secara rawat jalan
Rawat inap di RS lebih lama dari yang dibutuhkan secara medis
Memberikan pengobatan yang tidak sesuai dengan kondisi yang diklaim
Aspek dalam investigasi fraud
Investigasi mencakup banyak aspek. Beberapa hal umum yang perlu diinvestigasi antara lain, memastikan bahwa tertanggung bukan figur fiktif. Dalam beberapa kasus seorang agen asuransi ditemukan memalsukan figur tertanggung dan mengambil keuntungan dari situ.
Kedua, rekam medis tertanggung. Pengecekan ini untuk mengetahui apabila tertanggung memiliki pre-existing condition yang tidak ia ungkap saat pendaftaran pembelian produk asuransi. Namun, untuk menemukan bukti tidak selalu mudah. Misalnya saja, pengelolaan rekam medis yang kurang baik oleh pihak fasilitas kesehatan sehingga investigator sulit mendapatkannya atau membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkannya atau petugas kurang kooperatif. Hal ini biasanya terjadi di rumah sakit kecil di daerah.
Aspek selanjutnya yaitu memverifikasi tujuan perawatan, misalnya mencari tahu mengapa tertanggung harus dirawat inap. Dan tak kalah penting memastikan apakan penyakit termasuk yang dikecualikan dalam polis atau tidak.
Klaim berupa reimbursement biasanya juga red flag yang perlu diinvestigasi. Biasanya tertanggung mengajukan reimbursement karena cashless mereka ditolak oleh fasilitas kesehatan.
Penolakan ini bisa karena banyak hal, misalnya karena penyakit bawaan yang sebenarnya tidak ditanggung oleh asuransi.
Pada dasarnya investigasi memerlukan keterampilan yang telah terasah untuk menentukan pendekatan mana yang akan digunakan mencari bukti secara efektif.(*)