Ilustrasi Ibu Kota Nusantara (IKN) |
Penulis: Virna Firani (Mahasiswa IAIN Parepare)
Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur resmi dicanangkan empat tahun lalu, tepatnya 26 Agustus 2019, di dua kabupaten, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara. Bahkan ketika kemajuan semakin stabil, proyek pembangunan IKN masih menyisakan konflik agraria.
Konflik agraria muncul akibat tumpang tindih penggunaan lahan oleh masyarakat, pemerintah, dan perusahaan. Konflik agraria antara masyarakat dan pemegang izin pertanahan sering terjadi di Indonesia. Pemindahan ibu kota negara terus memicu perdebatan dan mengakibatkan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan penting ini, yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara dan ketentuan konstitusional atas partisipasi tersebut.
Penulis: Virna Firani (Mahasiswa IAIN Parepare) |
Pada pasal RUU IKN yang baru, Pasal 6 menyebut bahwa luas pembangunan IKN wilayah darat seluas 252.600 hektare dan wilayah laut mencapai luas 69.769 hektare. Sebagian di antaranya adalah tanah-tanah masyarakat lokal atau adat. Pasalnya, lahan target IKN sejatinya bukanlah tanah kosong yang tidak berpenghuni. Di lokasi pembangunan IKN justru sudah ada penghuninya, seperti petani hingga masyarakat hukum adat. Oleh sebab itu, tidak tepat jika pemerintah mengeklaim lokasi IKN sebagai tanah negara atau dikuasai pemerintah.
Penyebab utama konflik agraria di wilayah IKN adalah adanya tumpang tindih kepemilikan lahan antara perusahaan, transmigran, dan masyarakat adat. Tumpang tindih ini menyebabkan konflik lahan yang berdampak pada 30.000 hektar lahan milik 13 masyarakat adat. Konflik agraria muncul akibat tumpang tindih penggunaan lahan oleh masyarakat, pemerintah, dan perusahaan. Konflik ini juga menimbulkan pertanyaan sulit dan kompleks mengenai kepemilikan tanah oleh kelompok masyarakat adat di wilayah IKN.
Ketika masyarakat adat kehilangan tanahnya, mereka juga kehilangan pekerjaan yang biasa mereka lakukan, termasuk hutan, sawah, kebun, sungai, dan laut. Kelompok masyarakat adat yang hadir di lokasi IKN kemudian menjadi penonton yang merasakan manfaat dari perluasan infrastruktur tersebut.
Konflik agraria yang terkait dengan pembangunan IKN dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Pertama, sistem air menghadapi tantangan dan kemungkinan perubahan iklim. Kedua, ada risiko terhadap flora dan hewan. Ketiga, adanya risiko pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, konflik agraria terkait pengembangan IKN menjadi permasalahan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proyek ini harus terlibat dalam wacana yang inklusif, transparan, dan partisipatif. Proyek ini juga harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan dari keberlanjutan jangka panjang. Inisiatif ini tidak bisa mengorbankan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup hanya karena alasan politik dan ekonomi.
Kami berharap dengan cara ini proyek IKN dapat dilaksanakan secara lebih egaliter, terbuka dan bertanggung jawab. Kami berharap inisiatif IKN ini menghormati hak dan keinginan masyarakat adat sebagai warga negara Indonesia. Tentunya kita berharap dengan adanya proyek IKN ini dapat menjaga dan menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai warisan kolektif bangsa Indonesia. Harapannya, inisiatif IKN ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia dan tidak hanya segelintir individu atau organisasi saja.