Penulis; Madina Thulhidjah (Mahasiswi Jurnalistik Islam, IAIN Parepare)
Sebagai umat Muslim, memiliki pengetahuan berarti tidak hanya penting untuk diterapkan sendiri tetapi juga dapat disebarkan kepada orang lain sesuai dengan ajaran hadits yang menyatakan. “Sampaikanlahlah, walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari). Dakwah, sebagai upaya mengajak kebaikan dan menolak yang buruk dapat dilakukan melalui berbagai metode dan media sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Salah satu tujuan dakwah adalah mencapai kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Secara historis, Islamisasi di Nusantara disebabkan oleh dakwah para dai. Tanpa upaya mereka reformasi Islam di Indonesia tidak akan sekuat yang kita kenal saat ini. Meskipun ajaran Islam pada dasarnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu ilmu dan amalan namun pengembangan ilmu Islam harus terus dilakukan agar ajaran tersebut tetap relevan dan efektif.
Pemahaman terhadap peran psikologi dalam dakwah sangat penting karena psikologi membantu memahami kerumitan pikiran dan perasaan manusia. Dalam konteks dakwah, pemahaman psikologi dapat membantu dai atau pendakwah untuk berkomunikasi secara efektif dengan berbagai tipe kepribadian dan latar belakang emosional audiens. Psikologi juga memberikan wawasan tentang motivasi dan faktor-faktor psikologis yang memengaruhi penerimaan pesan dakwah.
Dengan memahami aspek-aspek psikologis ini, para pendakwah dapat menyampaikan pesan agama dengan lebih tepat, merespons kebutuhan psikologis audiens, dan membangun hubungan yang lebih baik untuk mendukung perubahan batin.
Selain itu, pemahaman psikologi juga membantu dalam menangani berbagai tantangan psikologis yang mungkin dihadapi oleh individu dalam proses penerimaan dakwah. Pendakwah yang memahami psikologi dapat memberikan pendekatan yang lebih bijaksana dalam membantu individu mengatasi konflik internal, ketidakpastian atau masalah emosional yang dapat menjadi hambatan dalam menerima ajaran agama.
Dengan demikian, penggabungan ilmu psikologi dalam dakwah bukan hanya memperkaya metode komunikasi tetapi juga mendukung pembentukan masyarakat yang lebih sehat secara psikologis dan keagamaan.
Pentingnya memahami psikologi dalam konteks dakwah menjadi semakin jelas ketika kita menyadari perubahan sosial dan budaya yang cepat terutama di kalangan Gen-Z. Generasi ini memiliki dinamika psikologis yang unik dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, akses informasi yang melimpah, dan tantangan sosial yang kompleks. Gen-Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 menghadapi tantangan dan pengaruh budaya yang berbeda. Oleh karena itu memahami psikologi Gen-Z menjadi kunci dalam mengembangkan metode dakwah yang dapat mencapai mereka dengan efektif.
Namun perlu diingat bahwa dakwah harus dilakukan dengan metode yang tepat dan isi yang jelas. Jika tidak bisa saja terjadi kesalahpahaman atau ketidakjelasan persepsi yang berujung pada kekerasan, pemaksaan, atau pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini menjadi semakin penting dalam konteks budaya digital dan konsumsi instan terutama ketika kita menghadapi tantangan radikalisme, terorisme, atau ekstremisme yang dapat berdampak buruk pada generasi muda atau generasi Z.
Dakwah tidak hanya bersifat lisan tetapi juga mencakup banyak kegiatan lain seperti menulis, melukis dan amal yang bertujuan untuk mendatangkan kebahagiaan bagi manusia di sana-sini. Dakwah dengan cara ini juga yang tidak terlalu disukai Gen-Z, karena dakwah ini dianggap kuno. Selain itu karena kurangnya dakwah dikalangan muda membuat dakwah itu sendiri menjadi asing di telinga anak muda yang kini dikenal dengan Gen-Z, sehingga saat mendengar dakwah membuatnya sulit diterima.
Dari hasil penelitian teman penulis kepada temannya dan dibuktikan dengan penulis yang bertanya langsung kepada beberapa temannya juga, ternyata benar ada beberapa alasan kenapa dakwah sulit diterima oleh Gen-Z, antara lain adanya perbedaan pendapat dari sesama pendakwah dan banyak juga pendakwah yang dianggap tidak menerapkan dakwahnya dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada salah satu teman penulis yang juga sudah melakukan penelitian terhadap temannya, dapat disimpulkan bahwa metode dakwah yang dapat diterima oleh Gen-Z adalah metode yang harus mencerminkan pemahaman mendalam terhadap realitas kehidupan mereka dan bahasa yang digunakan mudah dipahami. Gen-Z cenderung merespons lebih positif terhadap pendekatan yang menunjukkan pemahaman terhadap realitas dunia mereka, termasuk isu-isu sosial dan budaya yang mereka hadapi.
Selain itu, pentingnya menekankan kreativitas dalam metode dakwah menjadi semakin penting. Gen-Z tumbuh dalam lingkungan kultur visual dan interaktif sehingga memanfaatkan media sosial, visual storytelling, dan teknologi dapat menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan nilai-nilai agama. Metode ini tidak hanya menciptakan daya tarik tetapi juga memperkuat keterhubungan dengan audiens.
Psikologi dakwah juga memegang peranan dalam memahami kebutuhan emosional Gen-Z. Pesan-pesan dakwah perlu merangkul aspek kesejahteraan mental dan emosional, membimbing mereka dalam menghadapi tekanan hidup dan mencari makna. Mengenali tantangan psikologis generasi ini membantu menciptakan ruang dialog yang lebih terbuka dan relevan.
Dalam kesimpulannya, psikologi dakwah dan metode dakwah yang sesuai dengan karakter Gen-Z bukan sekadar strategi komunikasi melainkan sebuah upaya mendalam untuk memahami, menghargai, dan merespons kebutuhan psikologis generasi muda ini agar dakwah dapat menjadi pencerahan positif dalam perjalanan spiritual dan kehidupan sehari-hari mereka.