Notification

×

Iklan

Pasang Iklan

Iklan

Pasang Iklan

Kolom; Gerakan Cuti Berjamaah Ribuan Hakim di Indonesia: Ada Apa?

| Oktober 01, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-01T13:35:58Z
Pasang Iklan
Ilustrasi Palu Sidang


Penulis: Azlan Thamrin, S.H., M.H. (Kepala Pusat Kajian dan Bantuan Hukum IAIN Parepare)


Rencana gerakan cuti berjamaah ribuan hakim di Indonesia yang akan dilakukan pada tanggal 7 Oktober 2024 sampai dengan 11 Oktober 2024 dengan alasan kesejahteraan merupakan fenomena yang menggambarkan adanya masalah mendasar dalam pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan peradilan.


Dari perspektif hukum, tuntutan kesejahteraan yang dilakukan melalui gerakan cuti bisa menjadi bentuk "aksi protes" terselubung yang dilakukan secara legal. Dalam konteks ini, aksi cuti berjamaah dapat dipahami sebagai refleksi dari ketidakpuasan yang mendalam terhadap kondisi kerja yang dianggap tidak memadai, baik dari segi gaji, tunjangan, atau lingkungan kerja. Meskipun para hakim tidak berhak melakukan pemogokan sebagaimana profesi lain, tindakan mengambil cuti bersama ini bisa dianggap sebagai bentuk tekanan terhadap pemerintah untuk memperhatikan kebutuhan kesejahteraan dan keamanan di lingkungan kerja mereka.


Hakim merupakan profesi yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat. Beban kerja hakim di Indonesia seringkali dilaporkan sangat berat, dengan banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam waktu singkat dan tekanan untuk menjaga kualitas putusan. Kondisi ini dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang signifikan, yang pada gilirannya memengaruhi kinerja dan kesejahteraan mereka.


Sementara itu, kesejahteraan materiil hakim, termasuk gaji dan tunjangan, kerap menjadi perdebatan. Meski sudah ada upaya untuk meningkatkan gaji dan tunjangan hakim, banyak di antara mereka yang merasa bahwa hal tersebut belum sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab yang mereka emban. 


Gerakan cuti berjamaah yang berlandaskan alasan kesejahteraan ini bisa dipahami sebagai bentuk kritik terhadap kondisi yang tidak ideal tersebut. Para hakim mungkin merasa bahwa peningkatan kesejahteraan, baik dari segi finansial maupun non-finansial (seperti beban kerja yang lebih seimbang dan fasilitas kerja yang memadai, serta keamanan saat menjalankan tugas), adalah hal yang mendesak untuk diperjuangkan demi menjaga integritas profesi dan kualitas peradilan.


Gerakan cuti berjamaah ini juga mengindikasikan adanya masalah dalam tata kelola lembaga peradilan, terutama dalam hal manajemen kesejahteraan dan motivasi kerja hakim. Tindakan kolektif ini dapat dilihat sebagai sinyal bahwa ada kekurangan dalam upaya pemerintah untuk menciptakan sistem yang mendukung kesejahteraan dan keamanan dalam menjalankan tugas hakim secara berkelanjutan.


Kondisi ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap keberlangsungan sistem peradilan. Pengambilan cuti secara berjamaah, khususnya oleh hakim, dapat memperlambat proses penyelesaian perkara, mengakibatkan penundaan sidang, dan berpotensi melanggar hak masyarakat atas akses keadilan yang cepat dan adil. Dari perspektif manajemen, gerakan ini juga dapat dianggap sebagai bentuk kegagalan dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi para hakim, di mana mereka merasa dihargai dan didukung secara profesional.


Gerakan cuti berjamaah ribuan hakim dengan alasan kesejahteraan mengungkapkan masalah struktural yang signifikan dalam tata kelola lembaga peradilan dan kesejahteraan profesi hakim di Indonesia. Meskipun cuti merupakan hak individual yang dijamin oleh hukum, penggunaan cuti secara berjamaah untuk menyampaikan tuntutan kesejahteraan menunjukkan adanya ketidakpuasan mendalam terhadap kondisi kerja dan tunjangan yang diberikan.


Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan kesejahteraan hakim, termasuk peningkatan gaji, tunjangan, dan perbaikan lingkungan kerja. Selain itu, langkah-langkah jangka panjang yang bertujuan untuk meringankan beban kerja dan memberikan dukungan administrasi dan keamanan yang memadai perlu diprioritaskan. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif ini, kesejahteraan hakim dapat ditingkatkan, dan pada akhirnya, kualitas peradilan serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan terjaga. (*)

Pasang Iklan

Pasang Iklan


Pasang Iklan

Pasang Iklan
×
Berita Terbaru Update