Notification

×

Iklan

Pasang Iklan

Iklan

Pasang Iklan

Opini; Dibius Demi Nafsu : Kejahatan Seksual di Ruang Pasien

| April 14, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-14T10:36:04Z
Pasang Iklan




Oleh: Rusdianto Sudirman

Dosen IAIN Parepare 


Publik kembali diguncang oleh kasus kekerasan seksual yang tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar mengenai moralitas generasi muda terdidik. Seorang mahasiswa kedokteran diduga memperkosa keluarga pasien, dengan terlebih dahulu membius korban di lingkungan rumah sakit. Kasus ini mengejutkan karena terjadi di ruang yang seharusnya menjadi tempat pemulihan, dilakukan oleh sosok yang tengah dipersiapkan menjadi tenaga penyelamat nyawa.


Dari sudut pandang hukum pidana, perbuatan ini merupakan bentuk kejahatan serius yang harus dijatuhi sanksi seberat-beratnya. Ada sejumlah instrumen hukum yang dapat dikenakan terhadap pelaku, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2022.


Pasal 285 KUHP menyatakan bahwa seseorang yang memaksa perempuan untuk bersetubuh dengan kekerasan atau ancaman kekerasan diancam pidana hingga 12 tahun. Dalam kasus ini, kendati tidak ada kekerasan fisik secara langsung, tindakan membius korban justru menunjukkan bentuk kekerasan yang lebih canggih dan berbahaya.

Kondisi korban yang tidak sadar akibat obat bius menghilangkan kemampuan untuk memberi persetujuan. Dalam banyak putusan, Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa hubungan seksual dengan korban dalam keadaan tidak berdaya tetap tergolong sebagai pemerkosaan. Dengan demikian, Pasal 285 tetap relevan digunakan.


Namun menurut penulis, KUHP saja tidak cukup. Hadirnya UU TPKS memberi perangkat hukum yang lebih komprehensif dalam menjangkau kekerasan seksual berbasis relasi kuasa, situasi rentan, dan pemanfaatan ketidaksadaran korban. Pasal 6 dan 7 UU TPKS dengan jelas mengatur bahwa pemaksaan hubungan seksual, termasuk dalam keadaan korban tidak sadar, merupakan tindak pidana.

Yang penting, UU ini tidak lagi mensyaratkan adanya perlawanan korban. Ini relevan, sebab dalam kondisi dibius, korban tentu tidak dapat melakukan penolakan maupun pembelaan diri.


UU TPKS juga mengenal unsur pemberatan apabila pelaku memiliki hubungan kuasa terhadap korban. Bila pelaku terbukti menjalankan peran sebagai tenaga medis atau berada dalam posisi profesional dalam lingkungan rumah sakit, maka pasal pemberatan dapat diterapkan. Ini menunjukkan bahwa relasi kuasa menjadi faktor penting dalam konstruksi hukum kekerasan seksual modern.


Selain itu, menurut penulis jika terbukti pelaku menggunakan zat kimia tertentu untuk melumpuhkan korban, maka ia juga dapat dijerat dengan UU Narkotika atau UU Psikotropika. Artinya, pelaku bukan hanya melakukan satu kejahatan, tetapi serangkaian kejahatan yang terencana dan terstruktur.


Secara etik, tindakan ini mencederai kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran. Lembaga pendidikan tinggi yang menaungi pelaku wajib mengambil tindakan tegas, termasuk kemungkinan pemecatan, karena pelaku jelas melanggar sumpah dan etika kedokteran.


Kasus ini membuka mata kita bahwa pendidikan tinggi belum tentu sejalan dengan pendidikan moral. Dunia akademik harus mulai serius memikirkan pendidikan nilai, empati, dan kesadaran gender. Fakultas kedokteran, khususnya, harus menjadikan etika profesional dan relasi kuasa sebagai bagian integral dalam kurikulum.

Lebih dari sekadar vonis dan sanksi, kasus ini menuntut kita semua masyarakat, institusi, negara untuk berani bersikap dan tidak lagi permisif terhadap kekerasan seksual dalam bentuk apa pun.


Ketika kejahatan terjadi di tempat yang seharusnya paling aman, oleh orang yang seharusnya paling dipercaya, maka hukum tidak boleh diam. Kasus ini bukan hanya tentang seorang mahasiswa kedokteran dan satu korban, tetapi tentang nilai keadilan dan kemanusiaan yang sedang kita perjuangkan bersama. (*)

Pasang Iklan


Pasang Iklan


Pasang Iklan


Pasang Iklan


×
Berita Terbaru Update